HUKUM
PERDATA
Hukum
Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara
individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil
law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat
atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo Sakson (common law) tidak dikenal
pembagian semacam ini. [sunting]
Sejarah Hukum Perdata
Sejarah Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu
Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang
pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang
berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut Code Civil (hukum
perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai
Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang
masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari
Perancis (1813)
Hukum
perdata Indonesia
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang
dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata
disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik.
Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta
kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan
pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan
(hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga
negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian,
kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang
bersifat perdata lainnya. Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan
perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara
lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan
Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang
terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa
kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum
lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda,
khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.
DEFINISI
HUKUM PERDATA
Definisi Hukum Perdata menurut para ahli :
1. Sri Sudewi Masjchoen Sofwan
1. Sri Sudewi Masjchoen Sofwan
Hukum yang mengatur kepentingan warga negara perseorangan yang
satu dengan perseorangan yang lainnya.
2. Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H.
Hukum yang mengatur kepentingan perseorangan yang satu dengan
perseorangan yang lainnya.
3. Sudikno Mertokusumo
3. Sudikno Mertokusumo
Hukum antar perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban
perseorangan yang satu terhadap yag lain didalam lapangan berkeluarga dan dalam
pergaulan masyarakat.
4. Prof. R. Soebekti, S.H.
4. Prof. R. Soebekti, S.H.
Semua hak yang meliputi hukum privat materiil yang mengatur
kepentingan perseorangan.
Definisi secara umum :
Definisi secara umum :
Suatu peraturan hukum yang mengatur orang / badan hukum yang satu
dengan orang / badan hukum yang lain didalam masyarakat yang menitikberatkan
kepada kepentingan perseorangan.
Unsur yang terpenting dari Hukum Perdata :
1. norma peraturan
Unsur yang terpenting dari Hukum Perdata :
1. norma peraturan
2. sanksi
3. mengikat / dapat dipaksakan
AZAS-AZAS HUKUM PERDATA
1.
Azas Individualitas
Dapat menikmati dengan sepenuhnya dan menguasai sebebas-bebasnya
(hak eigendom) dan dapat melakukan perbuatan hukum, selain itu juga dapat
memiliki hasil, memakai, merusak, memelihara, dsb.
Batasan terhadap azas individualitas :
Hukum Tata Usaha Negara ( campur tangan pemerintah terhadap hak
milik )
Pembatasan dengan ketentuan hukum bertetangga
Tidak menyalahgunakan hak dan mengganggu kepentingan orang lain
2.
Azas Kebebasan Berkontrak
Setiap orang berhak mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang
telah diatur dalam UU maupun yang belum ( pasal 1338 KUHPerdata ) asal
perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum dan kesusilaan.
3.
Azas Monogami
Seorang laki-laki dalam waktu yang sama hanya diperbolehkan
memunyai satu orang istri. Namun dalam pasal 3 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974
tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan (UUPP) membuka peluang untuk berpoligami
dengan memenuhi syarat-syarat pada pasal 3 ayat (2), pasal 4 dan pasal 5 pada
UUPP.
PERKEMBANGAN KUHPerdata DI INDONESIA
1. Hukum Perdata Eropa (Code Civil Des Francais) dikodifikasi
tanggal 21 Maret 1804. 2. Pada tahun 1807, Code Civil Des Francais diundangkan
dengan nama Code Napoleon.
3. Tahun 1811 – 1830, Code Napoleon berlaku di Belanda.
3. Tahun 1811 – 1830, Code Napoleon berlaku di Belanda.
4. KUHPerdata Indonesia berasal dari Hukum Perdata Belanda, yaitu
buku "Burgerlijk Wetboek" (BW) dan dikodifikasi pada tanggal 1 Mei
1848.
5. Setelah kemerdekaan, KUHPerdata tetap diberlakukan di Indonesia. Hal ini tercantum dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada (termasuk KUHPerdata) masih tetap berlaku selama belum ada peraturan yang baru menurut UUD ini.
6. Perubahan yang terjadi pada KUHPerdata Indonesia :
5. Setelah kemerdekaan, KUHPerdata tetap diberlakukan di Indonesia. Hal ini tercantum dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada (termasuk KUHPerdata) masih tetap berlaku selama belum ada peraturan yang baru menurut UUD ini.
6. Perubahan yang terjadi pada KUHPerdata Indonesia :
7. Tahun 1960 : UU No.5/1960 mencabut buku II KUHPerdata sepanjang
mengatur tentang bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya
kecuali hypotek
8. Tahun 1963 : Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran tertanggal 5 September 1963, dengan mencabut pasal-pasal tertentu dari BW yaitu : pasal 108, 824 (2), 1238, 1460, 1579, 1603 x (1),(2) dan 1682.
9. Tahun 1974 : UU No.1/1974, mencabut ketentuan pasal 108 tentang kedudukan wanita yang menyatakan wanita tidak cakap bertindak.
8. Tahun 1963 : Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran tertanggal 5 September 1963, dengan mencabut pasal-pasal tertentu dari BW yaitu : pasal 108, 824 (2), 1238, 1460, 1579, 1603 x (1),(2) dan 1682.
9. Tahun 1974 : UU No.1/1974, mencabut ketentuan pasal 108 tentang kedudukan wanita yang menyatakan wanita tidak cakap bertindak.
SISTEMATIKA HUKUM PERDATA
A. Menurut Ilmu Pengetahuan
1. Buku I : Hukum
Perorangan (Personenrecht)
2. Buku II : Hukum Keluarga (Familierecht)
3. Buku III : Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht)
4. Buku IV : Hukum Waris (Erfrecht)
B. Menurut
KUHPerdata
1. Buku I : Perihal Orang (Van Personen)
2. Buku II : Perihal Benda (Van Zaken)
3. Buku III : Perihal Perikatan (Van Verbintennisen)
4. Buku IV : Perihal Pembuktian dan Kadaluarsa (Van Bewijs en
Verjaring)
CONTOH
KASUS DAN PENYELASAIAN HUKUM PERDATA
SLEMAN– Selasa, 17 November 2011 Pengadilan Negeri (PN)
Sleman akhirnya mengeksekusi tanah milik Juminten di Dusun Pesanggrahan, Desa
Pakembinangun,Kecamatan Pakem, Sleman.
Sempat terjadi ketegangan saat proses eksekusi yang
melibatkan puluhan aparat kepolisian ini, tapi tidak terjadi tindakan
anarkistis. Saat proses eksekusi tanah tersebut,PN Sleman membawa sebuah truk
untuk mengangkut barang-barang pemilik rumah serta backhoeuntuk menghancurkan
rumah yang tampak baru berdiri di atas tanah seluas 647 meter persegi. ”Kami
hanya melaksanakan perintah atasan,” kata Juru Sita PN Sleman Sumartoyo
kemarin.
Lokasi tanah yang berada di pinggir Jalan Kaliurang Km 17
ini merupakan tanah sengketa antara Juminten dengan Susilowati Rudi Sukarno
sebagai pemohon eksekusi. Kasus hukum yang telah berjalanselamatujuh tahun ini
berawal dari masalah utang piutang yang dilakukan oleh kedua belah pihak, utang
yang dimaksud disini adalah juminten berhutang tentang pembuatan sertifikat
tanah serta tidak mau mengganti rugi uang yang sudah diberi oleh
susilowati .
Klien kami telah membeli tanah ini dan juga sebidang
tanah milik Ibu Juminten lainnya di daerah Jalan Kaliurang Km 15 seharga Rp335
juta.Total tanah ada 997 meter persegi.Masalahnya berawal saat termohon tidak
mau diajak ke notaris untuk menandatangani akta jual beli, padahal klien
kami sudah membayar lunas,” papar Titiek Danumiharjo, kuasa hukum
Susilowati Rudi Sukarno. Kasus ini sebenarnya telah sampai tingkat kasasi,
bahkan peninjauan ulang. Dari semua tahap,Susilowati Rudi Sukarno selalu
memenangkan perkara.
Pihak Juminten yang tidak terima karena merasa tidak
pernah menjual tanah milik mereka, berencana menuntut balik dengan tuduhan
penipuan dan pemalsuan dokumen. ”Kami merasa tertipu, surat bukti jual beli
palsu,”tandas L Suparyono, anak kelima Juminten.
Analisa
Hukum perdata adalah ketentuan hukum materil yang
mengatur hubungan antara orang/individu yang satu dengan yang lain. Hukum
perdata berisi tentang hukum orang, hukum keluarga, hukum waris dan hukum harta
kekayaan yang meliputi hukum benda dan hukum perikatan.
Kasus diatas termasuk kasus perdata khususnya perikatan
karena telah terjadi persetujuan antara Juminten dengan Susilowati dalam hal
jual-beli tanah. Dalam hukum perdata peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai
hukum perikatan adalah jka terjadi suatu ikatan persetujuan antara 2 pihak yang
melahirkan hak dan kewajiban diantara keduanya dalam lingkup hukum kekayaan.
Tetapi dalam kasus diatas telah terjadi suatu sengketa
tanah antara Juminten dan Susilowati. Sengketa ini berawal dari utang piutang
yang mana Juminten berhutang tentang pembuatan sertifikat tanah serta tidak mau
mengganti rugi uang yang sudah diberi oleh Susilowati. Dalam kasus ini,
Juminten dianggap merugikan Susilowati, karena sudah dianggap menipu berupa
tidak maunya Juminten membuat akta sertifikat tanah dan dari itu pula Juminten
tidak mau mengganti dengan uang, karena Juminten beranggapan tidak pernah
menjual tanah miliknya kepada Susilowati, padahal penyimpanan atau pendaftaran
tanah itu wajib demi terlaksanakannya kepastian hukum. Sehingga Juminten
dianggap ingkar janji (wanprestasi) atau tidaak memenuhi perikatan tersebut.
Dalam KUH Perdata pasal 1366 berbunyi “Setiap orang
bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatanya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang
hati-hatinya”. Disini jelaslah bahwa Juminten melanggar UU tersebut.
Solusi
Menurut saya, solusi dari permasalahan ini agar pihak
Juminten segera membayar tentang hutangnya dalam pembuatan sertifikat tanah
terhadap Susilowati dan mebyar ganti rugi uang yang sudah diberi oleh
Susilowati agar permasalahn ini cepat terselesaikan. Karena dalam permasalahan
ini pihak juminten lah yang bersalah yang tercantum jelas dalam KUH perdata
1366, dan disini pihak Juminten sudah ingkar janji dan tidak memenuhi
perjanjian bersama. Saran untuk Juminten agar segera mengembalikan yang sudah
disetujui bersama Susilowati jika ingin permasalahan ini cepet terselesaikan.
HUKUM
PERIKATAN
Hukum perikatan
adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaanantara dua orang atau
lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban
atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu
akibathukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang
menimbulkan perikatan.
Unsur-unsur perikatan:
1. Hubungan hukum.
2. Harta kekayaan.
3. Pihak yang berkewajiban dan pihak yang berhak.
4. Prestasi.
1. Hubungan hukum.
2. Harta kekayaan.
3. Pihak yang berkewajiban dan pihak yang berhak.
4. Prestasi.
Dasar Hukum
Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan
yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari
undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang
dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi
menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan
berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
Perikatan yang timbul dari
persetujuan ( perjanjian )
Perikatan yang timbul dari
undang-undang
Perikatan terjadi bukan
perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige
daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming ) .
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
Perikatan ( Pasal 1233 KUH
Perdata )
Perikatan, lahir karena
suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Persetujuan ( Pasal 1313
KUH Perdata )
Suatu persetujuan adalah
suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu
orang lain atau lebih.
Undang-undang ( Pasal 1352
KUH Perdata )
Perikatan yang lahir
karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai
akibat perbuatan orang.
Azas-azas Dalam Hukum Perikatan
1.
Asas kebebasan berkontrak
Asas ini mengandung
pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik
yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam
undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt).
Asas kebebasan berkontrak
dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.”
2.
Asas Konsesualisme
Asas konsensualisme dapat
disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan
bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara
kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian
pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak
dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul
diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal
istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian
riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat
dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan).
Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan
bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal
istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa
terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas
konsensualisme yang dikenal dalam KUHPdt adalah berkaitan dengan bentuk
perjanjian.
1320 KUHPerdata.
3.
Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum atau
disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan
dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim
atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda
dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini pada mulanya
dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya
suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan
dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang
diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan
unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda
diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan
dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum
sudah cukup dengan kata sepakat saja.
4.
Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak
kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas
itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan
itikad baik mutlak.
Pada itikad yang pertama,
seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada
itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat
ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut
norma-norma yang objektif.
5.
Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang
menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya
untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan
Pasal 1340 KUHPdt.
Pasal 1315 KUHPdt menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat
mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti
ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang
tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. 1315 dan 1340 KUHPerdata.
Pengecualian : 1792
KUHPerdata
1317 KUHPerdata
1317 KUHPerdata
Perluasannya yaitu
Ps. 1318 KUHPerdata.
Asas Pacta Suntservanda® asas kepastian hukum: 1338: 1 KUHPerdata.
Asas Pacta Suntservanda® asas kepastian hukum: 1338: 1 KUHPerdata.
Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus
jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10
(sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
1. Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi adalah suatu
persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang
bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan
semula.
2. Perjumpaan utang
(kompensasi)
Kompensasi adalah salah
satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang
masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi
apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang
antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa
diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan
perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata).
3. Pembebasan Utang
Pembebasan utang adalah
perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih
piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu.
Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah
mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada
debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
4. Musnahnya barang yang terutang
5. Kebatalan dan pembatalan
perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat
dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
6. Kedaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal
1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau
untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan
atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dari ketentuan Pasal
tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam lampau waktu, yaitu :
a. Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu
barang
b. Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan
atau dibebaskan dari tuntutan
HUKUM PERJANJIAN
Standar Kontrak
Menurut
Mariam Darus, standar kontrak terbagi 2 yaitu umum dan khusus.
·
Kontrak standar
umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan
disodorkan kepada debitur.
·
Kontrak standar
khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan
berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Menurut Remi Syahdeini, keabsahan
berlakunya kontrak baru tidak perlu lagi dipersoalkan karena kontrak baru
eksistensinya sudah merupakan kenyataan.
Kontrak baru lahir dari kebutuhan
masyarakat. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung dengan kontrak baru yang masih
dipersoalkan.
Suatu
kontrak harus berisi:
1. Nama dan tanda tangan
pihak-pihak yang membuat kontrak.
2. Subjek dan jangka waktu
kontrak
3. Lingkup kontrak
4. Dasar-dasar pelaksanaan
kontrak
5. Kewajiban dan tanggung jawab
6. Pembatalan kontrak
B. Macam
– Macam Perjanjian
1. Perjanjian Jual-beli
2. Perjanjian Tukar Menukar
3. Perjanjian Sewa-Menyewa
4. Perjanjian Persekutuan
5. Perjanjian Perkumpulan
6. Perjanjian Hibah
7. Perjanjian Penitipan Barang
8. Perjanjian Pinjam-Pakai
9. Perjanjian Pinjam Meminjam
10. Perjanjian Untung-Untungan
C. Syarat
Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :
1. Sepakat untuk mengikatkan
diri Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu
harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala sesuatu yang
diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada
pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
2. Kecakapan untuk membuat
suatu perjanjian Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai
wewenang untuk membuat perjanjian atau mngadakan hubungan hukum. Pada asasnya
setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.
3. Suatu hal tertentu Suatu hal
tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini diperlukan untuk dapat
menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal 1338 KUHPerdata
menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang
paling sedikit ditetapkan jenisnya.
4. Sebab yang halal Sebab ialah
tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut
Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh
Undang Undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban. Menurut Pasal
1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak
mempunyai kekuatan atau batal demi hukum.
D. Pembatalan
dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pembatalan Perjanjian Suatu
perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian
ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak
biasanya terjadi karena;
1. Adanya suatu pelanggaran dan
pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau
tidak dapat diperbaiki.
2. Pihak pertama melihat adanya
kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak
dapat memenuhi kewajibannya.
3. Terkait resolusi atau
perintah pengadilan
4. Terlibat hokum
5. Tidak lagi memiliki lisensi,
kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian
E. Pengertian
Prestasi dan Wanprestasi Dalam Hukum Kontrak
Dalam kesempatan kali ini, saya akan
menjelaskan pengertian prestasi dan wanprestasi dalam hukum kontrak. Oke kita
langsung aja ya ke pembahasannya :)
Ø
Pengertian
Prestasi
Pengertian prestasi (performance) dalam hukum kontrak
dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak
oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai
dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang
bersangkutan.
Model-model dari prestasi (Pasal
1234 KUH Perdata), yaitu berupa :
·
Memberikan
sesuatu;
·
Berbuat
sesuatu;
·
Tidak berbuat
sesuatu.
Ø
Pengertian
Wanprestasi
Pengertian wanprestasi (breach of contract) adalah tidak
dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan
oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam
kontrak yang bersangkutan.
Tindakan wanprestasi membawa
konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak
yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi sehingga oleh hukum
diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi
tersebut.
Tindakan wanprestasi ini dapat
terjadi karena *:
·
Kesengajaan;
·
Kelalaian;
·
Tanpa kesalahan
(tanpa kesengajaan atau kelalaian)
*
Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure, yang umumnya memang
membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara atau
selama-lamanya).
SUMBER
:
- http://renytriutami.blogspot.com/2011/03/pengertian-hukum-perikatan.html
- http://abaslessy.wordpress.com/2012/10/26/hukum-perikatan-dan-perjanjian/
- http://www.scribd.com/doc/16733475/Hukum-Perikatan
- https://dewimanroe.wordpress.com/2013/05/11/hukum-perikatan/
- http://hafizasmenta.blogspot.com/2013/04/hukum-perikatan.html